Kamis, 27 September 2012

sejarah dieng

Mengenai Candi Dieng pernah disinggung dalam buku Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1923) yang ditulis oleh N.J.Krom. Dalam buku tersebut N.J Krom mengulas seputar kronologi candi-candi Jawa Tengah berdasarkan ragam hias Kala-makaranya.
Penulis lokal yang pertama membahas mengenai Dieng adalah Soetjipto Wirjosuparto. Dalam bukunya yang berjudul Sedjarah Bangunan Kuna Dieng (1957). Menurut Beliau, Kompleks Dieng ini pertama kali dikunjungi tahun 1814 oleh H.C.Cornelius, dan menurut laporannya, dataran Dieng masih berupa danau dan di antara candi-candinya ada yang terendam air.  Baru tahun 1856 J.van Kinsbergen membuat gambar candi-candi Dieng ini, air dialirkan sehingga dataran menjadi kering.
Dilihat sepintas, Candi Dieng mirip dengan bangunan kuil-kuil di India. Namun jika dilihat lebih detail maka akan terlihat jelas perbedaannya.

Ciri-ciri umum candi-candi di Dieng, berdenah bujur sangkar, mempunyai tiga bagian candi, yaitu kaki-tubuh-atap. Perkecualian terdapat pada candi Semar, karena berdenah empat persegi panjang, dan atap tidak menjulang seperti candi-candi lainnya, melainkan berbentuk padma (sisi genta).  Demikian pula di antara candi-candi tersebut, candi Bima mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan ketujuh candi lainnya, untuk lebih jelasnya akan di deskripsikan tiga buah candi yaitu candi Arjuna,  candi Semar dan candi Bima.
Candi Arjuna dimasukkan ke dalam seni bangunan Dieng Baru, berdenah bujur sangkar berukuran 6 meter x 6 meter, dengan pintu menghadap ke barat. Candi didirikan di atas fondasi berupa tanah lembut semacam pasir keputihan.  Fondasi disini maksudnya pemadatan tanah di bawah candi, untuk memperkuat tanah sebelum didirikan candi.Seperti lazimnya candi-candi Klasik Tua, kaki candi dihias dengan perbingkaian, demikian pula bagian bawah tubuh candi.  Namun candi Arjuna dan candi-candi Dieng lainnya tidak memiliki bingkai bulat (kumuda), hanya bingkai rata dan bingkai padma (sisi genta).
Dinding tubuh candi Arjuna dihias oleh 3 relung pada 3 sisinya yang sekarang telah kosong tidak ada arcanya.  Bagian atas relung masing-masing relung dihias dengan ragam hias kepala kala tanpa dagu, dan dihubungkan dengan sepasang makara oleh bingkai relung.  Pintu candi di sebelah barat, dengan hiasan ragam hias kepala kala pula, dan dihubungkan oleh bingkai pintu dan pipi tangga ke sepasang makara yang di hias oleh burung kakaktua di mulutnya yang menganga.

Atap candi terdiri dari tiga lapis (bhumi), ukurannya makin ke atas makin kecil dan di akhiri oleh puncak yang mungkin berbentuk buah keben (ratna).  Kemungkinan ini di ajukan setelah melihat hiasan pada sudut2 lapisan atap berbentuk replika candi.  Kepastian bentuk tidak dapat diajukan, karena atap telah rusak.  Puncak candi bukan stupika (dagoba), karena candi Arjuna dan candi Dieng secara keseluruhan bersifat agama Siwa, dan bukan bersifat agama Buddha. Bentuk atap candi Arjuna mirip dengan atap candi gaya India Selatan (gaya Dravida).

Pada tahun 1924 seorang arkeolog Belanda pernah meneliti candi Arjuna, dan menurut pendapatnya, ukuran dan bagian-bagian candi Arjuna jelas mengikuti aturan Vastusastra.  Namun bagaimana gaya candi-candi Dieng lainnya belum ada laporan, kecuali candi Bima yang beratap gaya India Utara (gaya Arya).

Ragam hias sangat sederhana, atap candi dipenuhi dengan ragam hias antefiks (simbar), dan hiasan Kala-makara pada pintu candi dan ketiga relung pada badan candi.  Bingkai pintu ini pada bagian bawah dihubungkan dengan pipi tangga yang melengkung pada kiri kanan tangga masuk.

Ruangan tengah (garbhagrha) telah kosong, dahulunya mungkin diisi arca Siwa yang mungkin sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.  Yoni lapik arcanya sekarang masih ada di dalam ruangan.

Candi Semar. Di hadapan candi Arjuna berdiri sebuah candi yang berdenah empat persegi panjang berukuran 7x3.50 meter, dengan pintu menghadap ke timur. Seperti candi-candi lainnya, candi Semar memiliki kaki-tubuh dan atap.  Alas kaki candi dan alas tubuh candi dihias dengan perbingkaian berupa bingkai padma (sisi genta) dan bingkai rata. Pintu dihias dengan kala-makara, tubuh candi diberi bidang penghias yang kosong.  Atap candi bentuknya sangat unik, karena tidak berlapis seperti halnya candi Arjuna dan candi-candi lainnya, namun hanya satu lapis melengkung ke atas, bentuknya seperti padma yang besar. Puncak atap berbentu apa, sudah tidak diketahui karena telah hilang.

Candi Semar ini berfungsi sebagai candi Perwara, atau candi pengiring.  Apa yang diletakkan di ruangan candi tidak jelas.  Apabila kita bandingkan dengan kompleks kuil di India, bangunan yang berhadapan dengan bangunan utama, biasanya dipakai untuk menempatkan arca Nandi, vahana (kendaraan) Siwa.

Candi Perwara semacam candi Semar, selain di Dieng juga ditemukan pada candi-candi kuna tua masa Klasik tua,  misalnya pada candi Gedongsanga.

Senin, 24 September 2012

sejarah wonosobo city

bedasarkan cerita rakyat , pada sekitar awal abad 17 tersebutlah tiga orang pengelana masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik , mulai merintis suatu permukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di dataran tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di dekitar kota Wonosobo sekarang ini.

DI kemudian hari dikenal beberapa tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya si Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduta sebagai penguasa Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Pecekelan - Kalilusi, yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok - Wonosobo atau Plobangan sekarang ini.

Salah seorang cucu Kyai Karim juga disebut sebagai salah seorang penguasa Wonosobo. Cucu kyai karim tersebut dikenal sebagai i Singowedono yang telah mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Keraton Mataram serta diangkat menjadi penguasa daerah ini namanya berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa ini Pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia Tumenggung Jogonegoro dimakamkan di desa Pakuncen.

Selanjutnya pada masa perang Diponegoro ( 1825 - 1930 ) , Wonosobo merupakan salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Diponegoro. Beberapa tokoh penting yang mendukung perjuangan Diponegoro adalah Imam Musbch atau kemudian dikenal dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, MAs Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Kyai Muhamad Ngarpah.

Dalam pertempuan melawan Belanda, Kyai Muhamad Ngarpah berhasil memperoleh kemenangan yang pertama. Atas keberhasilan itu Pangeran Diponegoro memberi nama kepada Kyai Muhamad Ngarpah dengan sebutan Tumenggung Seconegoro. Selanjutnya Tumenggung Seconegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelas TUMENGGUNG SECONEGORO.

Eksistensi kekuasaan Seconegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dinuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Seconegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.

Dari hasil seminar AHri Jadi Wonosobo tanggal 28 April 1994, yang dihadiri oleh Tim Peneliti dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, Sespuh dan Pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Pimpinan DPRD dan Pimpinan Komisi serta Instansi Pemerintah Wonosobo yang telah menyepakati bahwa Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825.

Adapun penguasa/kepala pemerintahan Kabupaten Wonosobo dari tahun 1825 sampai dengan sekarang adalah sebagai berikut :

1. Tumenggung R. Setjonegoro ( 1825 - 1832 )
2. Tumenggung R. MangoenKoesoemo ( 1832 - 1857 )
3. Tumenggung R. Kertonegoro ( 1857 - 1863 )
4. Tumenggung R. Tjokrohadisorjo ( 1863 - 1889 )
5. Tumenggung R. Soeryohadikoesoemo ( 1889 - 1898 )
6. Tumenggung R. Soerjohadinagoro ( 1898 - 1919 )
7. Adipati RAA Sosrodiprodjo ( 1920 - 1944 )
8. Bupati R. Singgih Hadipoero ( 1944 - 1946 )
9. Bupati R. Soemindro ( 1946 - 1950 )
10. Bupati R. Kadri ( 1950 - 1954 )
11. Bupati R. Oemar Soerjokoesoemo ( 1955 )
12. Bupati R. Sangidi Hadisoetirto ( 1955 - 1957 )
13. Kapala Daerah Rapingoen Wiombohadi Soedjono ( 1957 - 1959 )
14. Bupati R. Wibowo Helly ( 1960 - 1967 )
15. Bupati KDH Drs. R. Darodjat A.N.S ( 1967 -1974 )
16. Pj. Bupati KDH R. Marjaban ( 1974 - 1975 )
17. Bupati KDH Drs. Soekanto ( 1975 - 1985 )
18. Bupati KDH Drs. Poedjihardjo ( 1985 - 1990 )
19. Bupati KDH Drs. H. Soemadi ( 1990 - 1995 )
20. Bupati KDH Drs. Margono ( 1995 - 2000 )
21. Bupati KDH Drs. Trimawan Nugrohadi ( 2001 - 2005 )